Sumber: Bambang Nugroho Hadi, Dialog Kristen-Islam Menuju Indonesia Damai,
Yogyakarta: Smart Writing, 2013., hlm 56-72
7 DASAR TEOLOGIS UNTUK DIALOG
ANTAR AGAMA : PERSPEKTIF KRISTEN
Oleh : Dr. Bambang Nugroho Hadi, M.Th
Alkitab sebagai hasil perjuangan dan pemikiran manusia dalam
konteks situasinya pada masa lampau, memberikan makanan rohani serta menerangi
pengertian manusia modern di tengah situasi modern. Alkitab biasanya tidak
selalu mengena kepada situasi modern, tetapi fungsinya adalah memperkaya serta
membangun iman manusia modern, sehingga dengan iman yang cukup dia sanggup
melihat situasinya sendiri dengan lebih jelas dan sanggup menilai perbuatannya
dengan lebih tepat. Menurut James Barr, hubungan antara manusia dalam Alkitab
(dengan situasinya) dengan manusia modern di dalam situasinya, terjamin melalui
dua hal : Pertama, baik manusia dalam Alkitab maupun manusia modern berada
dalam kesatuan-kontinuitas satu umat Allah; Kedua, baik iman orang-orang dalam
Alkitab maupun iman orang Kristen modern adalah berhubungan erat dengan pola
pengertian tentang Allah yang terdapat dalam Alkitab.[1]
Dengan demikian, Barr menggarisbawahi posisi penting Alkitab
adalah agar orang-orang pada jaman kini dan di sini dibangun imannya, serta
mampu melihat situasi mereka sendiri dengan lebih jelas, merefleksikannya dan
mencari cara untuk menyatakan imannya kepada orang lain.
Pada situasi sekarang, tampaknya setiap agama terlalu
menonjolkan kekhasannya masing-masing. Sebaiknya dilakukan upaya untuk menggali
hal-hal yang universal dari dalam Alkitab sendiri yang menjadi dasar teologis
bagi sebuah dialog antar umat beragama dalam masyarakatnya yang majemuk. Di
sini, saya bergantung pada pandangan E.G Singgih dan Wesley Ariarajah yang
telah mendokumentasikan dasar-dasar teologis dialog antar agama.
1. Dialog
Allah dengan dunia
Alkitab menegaskan bahwa Allah adalah kasih. Tetapi Alkitab
tidak berhenti dengan penegasan ini, melainkan
menceritakan, di dalam Injil, tentang kisah-kisah mengenai apakah
artinya mengasihi itu. Inilah kabar baik. Inilah Injil. Injil mengungkapkan
hakekat kasih Allah dan apa artinya dunia ini bagi Allah.
Allah ada di dalam Kristus. Penegasan atau klaim ini
mengungkapkan bahwa di dalam hidup dan pelayanan Yesus, orang Kristen bisa
sampai pada pengenalan akan Allah dan mengenal bagaimana hubungan Allah dan
manusia itu. Dengan bertemu dan hidup bersama dengan Yesus Kristus, orang-orang
Kristen telah bertemu dengan Allah sendiri. Injil bukanlah berita penolakan.
Tapi berita penerimaan. Yesus memberitakan kabar bahwa Allah menerima manusia
bahkan sebelum manusia berbalik kepadaNya. Pertobatan, dalam ajaran Yesus
bukanlah syarat penerimaan melainkan tanggapan akan penerimaan Allah kepada
semua orang. Yesus menerima orang-orang
yang menurut jaman itu “tak pantas menerimanya”. Dan Yesus sering mendapati masalah
dengan tindakanNya itu. Dengan demikian,
mengatakan bahwa seseorang akan dikasihi
Allah bila mereka bertobat atau mempercayai Yesus dahulu adalah berita asing
yang tidak dikenal Alkitab. Allah mengasihi tanpa syarat dan Dia menerima tanpa
terlebih dahulu mengajukan kriteria-kriteria tertentu. Karena kasih Allah lah,
Injil memanggil seseorang untuk bertobat dari kehidupan yang berpusat pada diri
sendiri dan memulai suatu kehidupan yang berpusat pada kasih dan penerimaan
Allah.
Berita Alkitab bersifat dialogis.[2]
Ia menceritakan bahwa Allah menerima manusia sebelum mereka menyadarinya. Allah
menerima umat manusia, sebelum umat manusia menerimaNya. Semua orang adalah
umat Allah dan dikasihiNya. Dan Yesus
dalam hidupNya mempresentasikan kehidupan yang tak pernah menolak dan tak
pernah membenci siapapun. Ia lebih memilih ditolak daripada
menolak orang. Di dalam pengertian ini, inkarnasi merupakan dialog Allah
dengan dunia.
Dialog
dengan umat beragama lain, dengan demikian dasarnya adalah penerimaan. Dan
penerimaan adalah jantung Salib. Penerimaan yang tidak menuntut, tetapi memberi
diri sendiri. Ia merupakan kemampuan untuk menerima orang lain dalam keunikan
mereka. Bila orang Kristen tidak dapat menerima orang Muslim sebagai anak-anak
Allah kecuali mereka percaya apa yang orang Kristen percayai, maka sebenarnya
orang Kristen ini telah tidak bertindak atau berbicara dari berita Injil. Bila
orang Kristen berkata bahwa umat Islam yang tidak percaya kepada Kristus adalah
tidak termasuk dalam persekutuan Kristus dan di luar pemeliharaan dan kuasa
Allah yang menyelamatkan, maka sebenarnya orang Kristen ini sedang berbicara
tentang Allah yang bukan Allah dari Yesus Kristus. Yesus memberitakan tentang kabar
baik, yaitu penerimaan Allah dan kasih Allah yang sudah tersedia bagi semua orang dalam
keberadaan mereka.
Meyakini
bahwa orang-orang Islam dan umat berkepercayaan lain berada di luar tindakan
keselamatan Allah, sebenarnya tidak hanya menyangkut pendapat tentang
orang-orang Islam dan umat berkepercayaan lain saja. Tetapi juga menyangkut keyakinan
kepada Allah. Allah di dalam Alkitab adalah Allah yang memerintah semuanya dan
menjadi Tuhan bagi semua. Allah merangkul semua umat manusia dan mengasihi
mereka. Dan Allah yang bebas itu membebaskan kita untuk menjumpai dan berbicara
dengan sesama kita yang berkepercayaan lain, memperlakukan mereka sebagai
saudara-saudara kita sendiri dan menerima mereka dalam keunikan mereka.
2. Allah
Sebagai Pencipta dan Manusia Sebagai Ciptaan.
Dasar yang kedua ini mengacu pada Kitab Kejadian pasal 1-11
dan bagian-bagian Alkitab yang lain yang berkenaan tentang pengakuan iman bahwa
Allah adalah Pencipta alam semesta, dan bahwa manusia adalah makhluk ciptaanNya[3].
E.G Singgih lebih lanjut menjelaskan, bahwa dalam perkembangannya kemudian Allah
tidak menciptakan umatNya secara langsung tetapi melakukannya melalui manusia
yang lain sehingga terbentuklah umatNya. Itu berarti, meskipun perhatian Allah
dipusatkan kepada umat (Israel dan Gereja Perdana), perhatian ini juga selalu
berkaitan dengan umat manusia. Dalam Kitab Kejadian, kata “Adam” bukanlah
sekadar nama seorang manusia pertama.[4]
Dalam Kejadian 4 : 25 “Adam” memang adalah nama orang, akan tetapi sebelum itu
“Adam” selalu berarti “Manusia” (dengan huruf “M” besar). Maka, ketika manusia
disebut “gambar Allah”. kisah Kejadian hendak memperlihatkan bahwa gambar Allah
adalah manusia. Hanya manusia sajalah dari seluruh ciptaanNya yang
menjadi gambar Allah. Itu berarti bahwa di satu sisi, manusia memiliki kesamaan
dengan ciptaan Allah yang lain dan di sisi lain manusia juga memiliki
keunikannya sendiri sehingga ia disebut sebagai gambar Allah. Letak keunikan
manusia adalah di dalam kemanusiaan-nya.
Karena kemanusiaannya inilah, maka Kitab Pengkotbah
memberikan himbauan kepada manusia untuk menerima kefanaannya sekaligus
menyatakan bahwa kehidupan manusia yang terbatas dan singkat ini membuat hidup
manusia menjadi begitu bernilai.
Kefanaan manusia dan kerinduannya untuk imortalitas merupakan masalah
fundamental bagi agama-agama sehingga membantu memotivasi kerukunan hidup
beragama.
3. Yesus
Kristus Sebagai Hamba Allah
Bagaimanapun, masalah Kristologi haruslah menjadi bagian
dalam suatu dialog antar umat beragama. Pengakuan orang kristen bahwa yang
menentukan dalam hidupnya adalah Kristus
merupakan kekhasan agama Kristen.
Dan tidak ada alasan apapun bagi orang Kristen untuk mengurangi bobot
pengakuan ini. Hal ini tidak boleh disembunyikan demi memuluskan dialog antar
umat beragama sekalipun. Masalahnya adalah bagaimanakah gambaran orang Kristen
mengenai Kristus dan mengapa gambaran orang Kristen tersebut mudah menyulut reaksi dari umat
Islam.
Menurut E G Singgih, gambaran Kristus yang diwarisi umat
Kristen adalah gambaran Kristus dari dunia yang homogen sifatnya. Kristus
adalah Penakluk dunia[5],
Kristus sebagai King of Kings, Raja di atas segala raja. Dalam
Perjanjian Baru, Kristus disebut Kurios, Penguasa. Konteksnya adalah
perlawanan terhadap Kaisar yang menganggap diri Kurios, yang menguasai
segala sesuatu. Dalam arti tertentu, secara aktual para saya Perjanjian Baru
sedang melawan totaliterisme. Tidak ada seorangpun yang boleh mengambil
kedudukan Tuhan. Pemerintah bukan Kurios. Kristus adalah Kurios.
Umumnya, pemahaman Kristus adalah Tuhan ini mendominir
hubungan orang Kristen dengan umat
beragama lain. Meskipun kerygma ini menonjol dalam Perjanjian Baru,
tidaklah perlu untuk dijadikan satu-satunya gambaran mengenai Kristus dalam
kehidupan beragama. Orang Kristen perlu terbuka juga pada gambaran lain yang
juga terdapat dalam Perjanjian Baru. Gambaran tersebut adalah gambaran Kristus
sebagai Servant-Messiah, Hamba-Mesias. Menurut E G Singgih, dalam dialog
dengan umat Islam, orang Kristen perlu untuk menghindari gambaran Mesias yang
triumfalistik sifatnya, tetapi tidak menghapuskan sama sekali gambaran Mesianik
ini[6].
Kristus adalah tetap Mesias (yaitu Raja) yang sekaligus Hamba. Kalau Kristus
adalah Hamba-Mesias, maka Ia bukanlah penakluk dan peniada bagi yang lain,
melainkan Penggenap. Bahkan bukan saja sekedar penggenap, tetapi juga
Pembaharu. Dengan demikian, gambaran Kristus sebagai Servant-Messiah adalah
gambaran Kristus sebagai Transformator. Sebagai Pelayan, Ia menggenapi
segala sesuatu yang baik, tetapi Ia tetap Mesias yang datang untuk
mentransformasikan segala sesuatu.
Pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Allah dan Manusia tidak
dapat dikurangkan dalam Kerygma orang Kristen. Itulah pengakuan orang
Kristen dalam konteks apapun. Tetapi seringkali, pengakuan akan ke-Tuhanan
Yesus mendominir dan mengalahkan ke-manusiaanNya. Yesus bukanlah kebetulan saja
mengambil rupa manusia, seperti paham doketistik. Yesus adalah Allah dan
sekaligus manusia.
Dengan demikian, percakapan dengan orang beragama lain
mengenai Yesus sebagai insan manusia dengan demikian bukan berarti penghianatan
terhadap pokok pengakuan Kristen mengenai Yesus yang ilahi dan sekaligus
insani. Orang Kristen perlu memberikan gambaran tentang Yesus Kristus secara
kontekstual, artinya dapat mudah dimengerti oleh umat beragama lain. Tatkala
berdialog denga orang Islam, boleh saja misalnya berkata-kata tentang Yesus
sebagai Abdullah, “hamba Allah” (daripada Kristus sebagai “anak Allah”),
dan ini tidak perlu dicap sebagai penghianatan terhadap agama Kristen. Upaya
ini merupakan kontekstualisasi yang
masih dalam lingkup perbendaharaan kata-kata dalam Alkitab yang
berbicara mengenai Yesus sebagai Hamba
Tuhan. Dalam bahasa Yunani, kata “hamba (budak)” maupun “anak” adalah pais
atau paidos. Dalam bahasa Indonesia Kuno (Melayu) “budak” adalah
juga “anak”.
4. Meneladan
Sikap Yesus Kepada Umat Berkepercayaan Lain
Yesus memang menentang kemunafikan, pembenaran diri sendiri,
jenis agama yang hanya memperhatikan segi luar, seremonial, dan kering akan
makna spiritual. Tetapi tidak ada bukti bahwa Ia menolak atau mengutuk agama orang
pada masa itu.[7] Yesus sendiri beribadah teratur di Sinagoge,
mengenal Torah dengan baik, mengunjungi Bait Allah dan memelihara hari-hari
raya. Yesus datang untuk menggenapi Hukum Taurat dan tidak menghapuskannya. Ia
tidak menganjurkan pengikutNya untuk menolak atau melepaskan agama mereka
sendiri sama sekali (yaitu Yudaisme). Pada waktu itu, Yesus sendiri adalah
bagian dari agama Yudaisme. Ia, seperti nabi-nabi lain yang mendahuluiNya,
menantang tradisiNya sendiri agar setia pada panggilannya yang sejati. Injil
sedikit mencatat perjumpaan Yesus dengan tradisi agama lain. Yesus pernah
terheran-heran ketika menemukan bahwa yang disebut “orang luar”, seperti
perempuan Kanaan itu, ternyata lebih responsif terhadap ajaranNya daripada
banyak orang sebangsaNya (Matius 15 : 21-28).
5. Kemampuan Melihat
Kerajaan Allah
Kerajaan Allah tidak dapat dibatasi oleh wilayah-wilayah
agama. Pemerintahan Allah menerobos masuk ke dalam hidup manusia. Kita percaya
bahwa kerajaan Allah bekerja di dalam seluruh sejarah umat manusia, maka kita
perlu melihatnya terjadi di segala macam kehidupan dan tempat. Perumpamaan
tentang kambing dan domba merupakan peringatan yang tepat mengenai
keikutserttaan di dalam pemerintahan Allah, dari mereka yang hanya mempunyai
sedikit atau tidak mempunyai kesadaran tentangnya (Matius 25 : 31 – 46).
Percaya akan realitas kerajaan Allah mendesak orang-orang
Kristen untuk berdialog dengan mereka yang memiliki pengalaman yang lain
tentang hidup dalam pemerintahan Allah yang telah mulai, sedang dan akan datang
itu. Dialog adalah sarana bagi orang Kristen untuk melihat serta merayakan
pemerintahan Allah yang universal atas
seluruh kehidupan.
Pokok ini sering dianggap eksklusif sifatnya. Pemahaman
bahwa Israel menjadi umat kesayangan Tuhan atau umat pilihan Tuhan di antara
bangsa-bangsa merupakan tema yang amat menonjol dalam Alkitab. Bahkan dalam
Kitab Perjanjian Baru pun ide ini muncul juga. Keselamatan datang dari umat
Yahudi (Yohanes 4 : 22). Dalam Roma
pasal 11, Paulus dengan tegas berpendapat bahwa umat Israel saja yang adalah
umat Allah sedangkan orang Kristen non-Yahudi cuma “cangkokan” saja. (Roma 11 :
17). Ide umat Allah juga ada dalam surat-surat Petrus. Orang Kristen adalah
Imamat yang rajani (1 Petrus 2 :9). Kalau umat Israel terdiri dari golongan
imam dan umat biasa, maka dalam “Israel Baru” semuanya adalah imam. Dalam
teologi tradisional, gereja biasanya dipahami sebagai pengganti Israel sebagai
umat Allah. Gereja adalah Israel baru, umat kesayangan Tuhan.
Alkitab sebenarnya tidak menyajikan hanya satu tema saja.
Jarang disadari, bahwa Alkitab tidak selalu menonjolkan pemahaman mengenai
“umat kesayangan Tuhan”. Hal ini terutama dalam ayat-ayat yang dekat dengan
masa pembuangan dan yang ditulis pada masa pembuangan. Dalam Zefanya 3 : 12
dikisahkan bahwa umat Israel yang luput
dari hukuman Tuhan akan dibiarkan menjadi “suatu umat yang rendah hati
dan lemah” (Terjemahan LAI). Maksudnya, Israel menjadi umat yang tidak dapat
membanggakan diri lagi akan statusnya sebagai umat pilihan. Dalam Kitab Yesaya
terdapat “Empat Syair Hamba Tuhan” (ebed Yehweh), yaitu Yesaya pasal 42
: 1-4, pasal 49 : 1-6, pasal 50 : 4-11, dan pasal 52:13-53:12. Dalam keempat
syair ini direfleksikan bahwa Israel harus merenungkan penderitaannya pada masa
lalu dalam kehinaan pembuangan yang memalukan mereka. Israel pesimistis untuk melanjutkan masa
depan mereka meskipun mereka nanti akan mengalami masa-masa setelah pembuangan.
Biasanya hanya tokoh tertentu yang disebut hamba. Tetapi kini, seluruh umat
Israel disebut sebagai hamba. Meskipun menderita malu yang amat sangat, tetapi
Israel diyakini Yesaya (dan juga dimengerti oleh bangsa-bangsa lain) mengalami
penderitaan dalam rangka penebusan bagi dunia. Israel menderita untuk dunia,
dalam rangka melayani dunia.
Dalam Injil Matius pasal 5-7, Yesus menujukan khotbahnya di
Bukit bukan hanya kepada para rasul tetapi kepada siapapun yang mendengar.
Isinya mengenai hubungan antar manusia. Kemudian dalam pasal 7 : 13, Yesus
meringkaskan hukum Taurat dan Kitab Para
Nabi sebagai berikut : “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat
kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”. Ratusan tahun sebelumnya
Kong Hu Cu juga berkata demikian. Hanya saja dalam rumusan kalimat yang
negatif. Meskipun rumusannya secara negatif, tetapi maknanya sama -sama
positif. Nyatalah bahwa baik Yesus maupun Kong Hu Cu mengambil inspirasi dari
kebenaran universal yang laku sepanjang jaman. Jadi, kekhasan umat tidak pernah
dapat dilepaskan dari keuniversalan manusia. Kekhasan umat bukanlah tujuan pada
dirinya sendiri. Orang terpanggil menyadari jati dirinya supaya dapat
berkembang bersama dengan yang lain menuju keuniversalan manusia.
Keselamatan dalam Alkitab tidak bisa diartikan hanya mutlak
bersifat partikularistik. Alkitab menjelaskan bahwa keselamatan juga bersifat
universalistik. Karena hal yang terakhir inilah, maka Injil juga diberitakan
kepada orang-orang bukan Yahudi. Bukan hanya umat Yahudi yang hendak
diselamatkan oleh karya Yesus. Paulus pernah menolak paham bahwa untuk
diselamatkan, seseorang harus diyahudikan dahulu dengan disunat. Seharusnya,
orang Kristen sekarang mengikuti pandangan Paulus ini dan bukan menentangnya.
Orang Kristen seharusnya tidak menganggap keselamatan sebagai hak eksklusif
kelompok orang Kristen saja. Kalau
dahulu orang Yahudi berkata kepada dunia : engkau harus disunat dulu,
baru engkau selamat, sekarang banyak orang Kristen berkata hal yang serupa kepada dunia : engkau harus percaya dan dibabtis
dulu, baru selamat. Praktik babtis dalam kenyataan telah mengganti praktik
sunat. Padahal maksud Paulus bukan mengganti praktik sunat dengan praktik
babtis, melainkan hendak menghapuskan praktik sunat. Itu berarti, babtisan
tidak setara/sejajar dengan sunat. Babtisan harus berfungsi lain daripada
sunat. Babtisan fungsinya sebagai tanda bahwa seseorang menjadi anggota jemaat
Kristen.
Dalam Perjanjian Lama, keselamatan selalu dikaitkan dengan shalom,
yang biasa diartikan “damai”. Damai di sini bukan berarti tiadanya perang
atau tiadanya kekacauan, tapi merupakan keadaan yang simbang yang dikaitkan dengan situasi masyarakat yang
harmonis. Dan ini dikaitkan asalnya dari Allah. Dan dewasa ini, keselamatan di
dalam Kristus tidak semata-mata diyakini bersifat spiritual belaka, tetapi
bersifat holistik. Berita keselamatan harus diwartakan bersamaan dengan
tindakan-tindakan sosial. Sosial Gospel, atau “injil sosial”, dengan
demikian merupakan bagian integral dari
pemberitaan injil dan bukan sekedar alat penginjilan. Tindakan-tindakan sosial
adalah perwujudan dari penghayatan iman dan bukan sekedar “buah iman” (yang
hanya dikerjakan oleh Roh Kudus). Kalau
perbuatan baik dilihat sebagai perwujudan penghayatan iman, maka kita bisa
menyambut baik segala perbuatan baik yang dilakukan orang lain. Meskipun
perbuatan baik itu adalah usaha manusia.
Rangkuman
Dialog antar agama Kristen-Islam sudah menjadi keharusan
karena konteks Indonesia yang plural dan warisan sejarah interaksi mereka yang
seringkali diwarnai persaingan dan konflik. Dengan menginventarisir dasar
teologis untuk upaya dialog, maka umat Kristen diharapkan siap tanpa ragu
menyambut setiap perjumpaan dengan umat Islam dalam suasana bersahabat dan
dialogis.
[1] James Barr, Alkitab Di Dunia Modern , Cetakan Kelima (Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 191.
[3] E.G Singgih, Hidup
Kristiani Dalam Mayarakat Keagamaan Yang Majemuk, dalam Tim Balitbang PGI
(Penyunting), Meretas Jalan Teologi Agama-Agama Di Indonesia : Theologia
Religionum, Cetakan ketiga (Jakarta : PT.BPK Gunung Mulia, 2003), hlm.104-106.
[4] Ibid.
[6] Ibid.
[8] E.G Singgih, Hidup
Kristiani Dalam Mayarakat Keagamaan Yang Majemuk, hlm. 107-110.
[9] E.G Singgih, Hidup Kristiani Dalam Mayarakat Keagamaan Yang
Majemuk , hlm. 115-121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar