Kamis, 08 Desember 2016

7 Dasar Teologis Untuk Dialog Antar Agama Perspektif Kristen

Sumber: Bambang Nugroho Hadi, Dialog Kristen-Islam Menuju Indonesia Damai, Yogyakarta: Smart Writing, 2013., hlm 56-72

7 DASAR TEOLOGIS UNTUK DIALOG
ANTAR AGAMA : PERSPEKTIF KRISTEN
Oleh : Dr. Bambang Nugroho Hadi, M.Th

Alkitab sebagai hasil perjuangan dan pemikiran manusia dalam konteks situasinya pada masa lampau, memberikan makanan rohani serta menerangi pengertian manusia modern di tengah situasi modern. Alkitab biasanya tidak selalu mengena kepada situasi modern, tetapi fungsinya adalah memperkaya serta membangun iman manusia modern, sehingga dengan iman yang cukup dia sanggup melihat situasinya sendiri dengan lebih jelas dan sanggup menilai perbuatannya dengan lebih tepat. Menurut James Barr, hubungan antara manusia dalam Alkitab (dengan situasinya) dengan manusia modern di dalam situasinya, terjamin melalui dua hal : Pertama, baik manusia dalam Alkitab maupun manusia modern berada dalam kesatuan-kontinuitas satu umat Allah; Kedua, baik iman orang-orang dalam Alkitab maupun iman orang Kristen modern adalah berhubungan erat dengan pola pengertian tentang Allah yang terdapat dalam Alkitab.[1]

Dengan demikian, Barr menggarisbawahi posisi penting Alkitab adalah agar orang-orang pada jaman kini dan di sini dibangun imannya, serta mampu melihat situasi mereka sendiri dengan lebih jelas, merefleksikannya dan mencari cara untuk menyatakan imannya kepada orang lain.

Pada situasi sekarang, tampaknya setiap agama terlalu menonjolkan kekhasannya masing-masing. Sebaiknya dilakukan upaya untuk menggali hal-hal yang universal dari dalam Alkitab sendiri yang menjadi dasar teologis bagi sebuah dialog antar umat beragama dalam masyarakatnya yang majemuk. Di sini, saya bergantung pada pandangan E.G Singgih dan Wesley Ariarajah yang telah mendokumentasikan dasar-dasar teologis dialog antar agama. 

1.         Dialog Allah dengan dunia

Alkitab menegaskan bahwa Allah adalah kasih. Tetapi Alkitab tidak berhenti dengan penegasan ini, melainkan  menceritakan, di dalam Injil, tentang kisah-kisah mengenai apakah artinya mengasihi itu. Inilah kabar baik. Inilah Injil. Injil mengungkapkan hakekat kasih Allah dan apa artinya dunia ini bagi Allah.

Allah ada di dalam Kristus. Penegasan atau klaim ini mengungkapkan bahwa di dalam hidup dan pelayanan Yesus, orang Kristen bisa sampai pada pengenalan akan Allah dan mengenal bagaimana hubungan Allah dan manusia itu. Dengan bertemu dan hidup bersama dengan Yesus Kristus, orang-orang Kristen telah bertemu dengan Allah sendiri. Injil bukanlah berita penolakan. Tapi berita penerimaan. Yesus memberitakan kabar bahwa Allah menerima manusia bahkan sebelum manusia berbalik kepadaNya. Pertobatan, dalam ajaran Yesus bukanlah syarat penerimaan melainkan tanggapan akan penerimaan Allah kepada semua orang.   Yesus menerima orang-orang yang menurut jaman itu “tak pantas menerimanya”. Dan Yesus sering mendapati masalah dengan tindakanNya itu.  Dengan demikian, mengatakan bahwa  seseorang akan dikasihi Allah bila mereka bertobat atau mempercayai Yesus dahulu adalah berita asing yang tidak dikenal Alkitab. Allah mengasihi tanpa syarat dan Dia menerima tanpa terlebih dahulu mengajukan kriteria-kriteria tertentu. Karena kasih Allah lah, Injil memanggil seseorang untuk bertobat dari kehidupan yang berpusat pada diri sendiri dan memulai suatu kehidupan yang berpusat pada kasih dan penerimaan Allah.

Berita Alkitab bersifat dialogis.[2] Ia menceritakan bahwa Allah menerima manusia sebelum mereka menyadarinya. Allah menerima umat manusia, sebelum umat manusia menerimaNya. Semua orang adalah umat Allah dan dikasihiNya.  Dan Yesus dalam hidupNya mempresentasikan kehidupan yang tak pernah menolak dan tak pernah membenci siapapun. Ia lebih memilih ditolak  daripada  menolak orang. Di dalam pengertian ini, inkarnasi merupakan dialog Allah dengan dunia.   

Dialog dengan umat beragama lain, dengan demikian dasarnya adalah penerimaan. Dan penerimaan adalah jantung Salib. Penerimaan yang tidak menuntut, tetapi memberi diri sendiri. Ia merupakan kemampuan untuk menerima orang lain dalam keunikan mereka. Bila orang Kristen tidak dapat menerima orang Muslim sebagai anak-anak Allah kecuali mereka percaya apa yang orang Kristen percayai, maka sebenarnya orang Kristen ini telah tidak bertindak atau berbicara dari berita Injil. Bila orang Kristen berkata bahwa umat Islam yang tidak percaya kepada Kristus adalah tidak termasuk dalam persekutuan Kristus dan di luar pemeliharaan dan kuasa Allah yang menyelamatkan, maka sebenarnya orang Kristen ini sedang berbicara tentang Allah yang bukan Allah dari Yesus Kristus. Yesus memberitakan tentang kabar baik, yaitu penerimaan Allah dan kasih Allah  yang sudah tersedia bagi semua orang dalam keberadaan mereka.

Meyakini bahwa orang-orang Islam dan umat berkepercayaan lain berada di luar tindakan keselamatan Allah, sebenarnya tidak hanya menyangkut pendapat tentang orang-orang Islam dan umat berkepercayaan lain saja. Tetapi juga menyangkut keyakinan kepada Allah. Allah di dalam Alkitab adalah Allah yang memerintah semuanya dan menjadi Tuhan bagi semua. Allah merangkul semua umat manusia dan mengasihi mereka. Dan Allah yang bebas itu membebaskan kita untuk menjumpai dan berbicara dengan sesama kita yang berkepercayaan lain, memperlakukan mereka sebagai saudara-saudara kita sendiri dan menerima mereka dalam keunikan mereka.


2.         Allah Sebagai Pencipta dan Manusia Sebagai Ciptaan.

Dasar yang kedua ini mengacu pada Kitab Kejadian pasal 1-11 dan bagian-bagian Alkitab yang lain yang berkenaan tentang pengakuan iman bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta, dan bahwa manusia adalah makhluk ciptaanNya[3]. E.G Singgih lebih lanjut menjelaskan, bahwa dalam perkembangannya kemudian Allah tidak menciptakan umatNya secara langsung tetapi melakukannya melalui manusia yang lain sehingga terbentuklah umatNya. Itu berarti, meskipun perhatian Allah dipusatkan kepada umat (Israel dan Gereja Perdana), perhatian ini juga selalu berkaitan dengan umat manusia. Dalam Kitab Kejadian, kata “Adam” bukanlah sekadar nama seorang manusia pertama.[4] Dalam Kejadian 4 : 25 “Adam” memang adalah nama orang, akan tetapi sebelum itu “Adam” selalu berarti “Manusia” (dengan huruf “M” besar). Maka, ketika manusia disebut “gambar Allah”. kisah Kejadian hendak memperlihatkan bahwa gambar Allah adalah manusia. Hanya manusia sajalah dari seluruh ciptaanNya yang menjadi gambar Allah. Itu berarti bahwa di satu sisi, manusia memiliki kesamaan dengan ciptaan Allah yang lain dan di sisi lain manusia juga memiliki keunikannya sendiri sehingga ia disebut sebagai gambar Allah. Letak keunikan manusia adalah di dalam kemanusiaan-nya.

Karena kemanusiaannya inilah, maka Kitab Pengkotbah memberikan himbauan kepada manusia untuk menerima kefanaannya sekaligus menyatakan bahwa kehidupan manusia yang terbatas dan singkat ini membuat hidup manusia menjadi begitu bernilai.   Kefanaan manusia dan kerinduannya untuk imortalitas merupakan masalah fundamental bagi agama-agama sehingga membantu memotivasi kerukunan hidup beragama.

3.         Yesus Kristus Sebagai Hamba Allah

Bagaimanapun, masalah Kristologi haruslah menjadi bagian dalam suatu dialog antar umat beragama. Pengakuan orang kristen bahwa yang menentukan dalam hidupnya adalah Kristus  merupakan kekhasan agama Kristen.   Dan tidak ada alasan apapun bagi orang Kristen untuk mengurangi bobot pengakuan ini. Hal ini tidak boleh disembunyikan demi memuluskan dialog antar umat beragama sekalipun. Masalahnya adalah bagaimanakah gambaran orang Kristen mengenai Kristus dan mengapa gambaran orang Kristen  tersebut mudah menyulut reaksi dari umat Islam.

Menurut E G Singgih, gambaran Kristus yang diwarisi umat Kristen adalah gambaran Kristus dari dunia yang homogen sifatnya. Kristus adalah Penakluk dunia[5], Kristus sebagai King of Kings, Raja di atas segala raja. Dalam Perjanjian Baru, Kristus disebut Kurios, Penguasa. Konteksnya adalah perlawanan terhadap Kaisar yang menganggap diri Kurios, yang menguasai segala sesuatu. Dalam arti tertentu, secara aktual para saya Perjanjian Baru sedang melawan totaliterisme. Tidak ada seorangpun yang boleh mengambil kedudukan Tuhan. Pemerintah bukan Kurios. Kristus adalah Kurios.

Umumnya, pemahaman Kristus adalah Tuhan ini mendominir hubungan orang Kristen dengan  umat beragama lain. Meskipun kerygma ini menonjol dalam Perjanjian Baru, tidaklah perlu untuk dijadikan satu-satunya gambaran mengenai Kristus dalam kehidupan beragama. Orang Kristen perlu terbuka juga pada gambaran lain yang juga terdapat dalam Perjanjian Baru. Gambaran tersebut adalah gambaran Kristus sebagai Servant-Messiah, Hamba-Mesias. Menurut E G Singgih, dalam dialog dengan umat Islam, orang Kristen perlu untuk menghindari gambaran Mesias yang triumfalistik sifatnya, tetapi tidak menghapuskan sama sekali gambaran Mesianik ini[6]. Kristus adalah tetap Mesias (yaitu Raja) yang sekaligus Hamba. Kalau Kristus adalah Hamba-Mesias, maka Ia bukanlah penakluk dan peniada bagi yang lain, melainkan Penggenap. Bahkan bukan saja sekedar penggenap, tetapi juga Pembaharu. Dengan demikian, gambaran Kristus sebagai Servant-Messiah adalah gambaran Kristus sebagai Transformator. Sebagai Pelayan, Ia menggenapi segala sesuatu yang baik, tetapi Ia tetap Mesias yang datang untuk mentransformasikan segala sesuatu.

Pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Allah dan Manusia tidak dapat dikurangkan dalam Kerygma orang Kristen. Itulah pengakuan orang Kristen dalam konteks apapun. Tetapi seringkali, pengakuan akan ke-Tuhanan Yesus mendominir dan mengalahkan ke-manusiaanNya. Yesus bukanlah kebetulan saja mengambil rupa manusia, seperti paham doketistik. Yesus adalah Allah dan sekaligus manusia.

Dengan demikian, percakapan dengan orang beragama lain mengenai Yesus sebagai insan manusia dengan demikian bukan berarti penghianatan terhadap pokok pengakuan Kristen mengenai Yesus yang ilahi dan sekaligus insani. Orang Kristen perlu memberikan gambaran tentang Yesus Kristus secara kontekstual, artinya dapat mudah dimengerti oleh umat beragama lain. Tatkala berdialog denga orang Islam, boleh saja misalnya berkata-kata tentang Yesus sebagai Abdullah, “hamba Allah” (daripada Kristus sebagai “anak Allah”), dan ini tidak perlu dicap sebagai penghianatan terhadap agama Kristen. Upaya ini merupakan kontekstualisasi yang   masih dalam lingkup perbendaharaan kata-kata dalam Alkitab yang berbicara  mengenai Yesus sebagai Hamba Tuhan. Dalam bahasa Yunani, kata “hamba (budak)” maupun “anak” adalah pais atau paidos. Dalam bahasa Indonesia Kuno (Melayu) “budak” adalah juga “anak”.

4.         Meneladan Sikap Yesus Kepada Umat Berkepercayaan Lain

Yesus memang menentang kemunafikan, pembenaran diri sendiri, jenis agama yang hanya memperhatikan segi luar, seremonial, dan kering akan makna spiritual. Tetapi tidak ada bukti bahwa Ia menolak atau mengutuk agama orang pada masa itu.[7]  Yesus sendiri beribadah teratur di Sinagoge, mengenal Torah dengan baik, mengunjungi Bait Allah dan memelihara hari-hari raya. Yesus datang untuk menggenapi Hukum Taurat dan tidak menghapuskannya. Ia tidak menganjurkan pengikutNya untuk menolak atau melepaskan agama mereka sendiri sama sekali (yaitu Yudaisme). Pada waktu itu, Yesus sendiri adalah bagian dari agama Yudaisme. Ia, seperti nabi-nabi lain yang mendahuluiNya, menantang tradisiNya sendiri agar setia pada panggilannya yang sejati. Injil sedikit mencatat perjumpaan Yesus dengan tradisi agama lain. Yesus pernah terheran-heran ketika menemukan bahwa yang disebut “orang luar”, seperti perempuan Kanaan itu, ternyata lebih responsif terhadap ajaranNya daripada banyak orang sebangsaNya (Matius 15 : 21-28).


5.         Kemampuan Melihat Kerajaan Allah

Kerajaan Allah tidak dapat dibatasi oleh wilayah-wilayah agama. Pemerintahan Allah menerobos masuk ke dalam hidup manusia. Kita percaya bahwa kerajaan Allah bekerja di dalam seluruh sejarah umat manusia, maka kita perlu melihatnya terjadi di segala macam kehidupan dan tempat. Perumpamaan tentang kambing dan domba merupakan peringatan yang tepat mengenai keikutserttaan di dalam pemerintahan Allah, dari mereka yang hanya mempunyai sedikit atau tidak mempunyai kesadaran tentangnya (Matius 25 : 31 – 46).

Percaya akan realitas kerajaan Allah mendesak orang-orang Kristen untuk berdialog dengan mereka yang memiliki pengalaman yang lain tentang hidup dalam pemerintahan Allah yang telah mulai, sedang dan akan datang itu. Dialog adalah sarana bagi orang Kristen untuk melihat serta merayakan pemerintahan Allah yang  universal atas seluruh kehidupan.

6.         Umat Allah Sebagai Pelayan Kebersamaan Manusia[8]
           
Pokok ini sering dianggap eksklusif sifatnya. Pemahaman bahwa Israel menjadi umat kesayangan Tuhan atau umat pilihan Tuhan di antara bangsa-bangsa merupakan tema yang amat menonjol dalam Alkitab. Bahkan dalam Kitab Perjanjian Baru pun ide ini muncul juga. Keselamatan datang dari umat Yahudi (Yohanes 4 : 22).  Dalam Roma pasal 11, Paulus dengan tegas berpendapat bahwa umat Israel saja yang adalah umat Allah sedangkan orang Kristen non-Yahudi cuma “cangkokan” saja. (Roma 11 : 17). Ide umat Allah juga ada dalam surat-surat Petrus. Orang Kristen adalah Imamat yang rajani (1 Petrus 2 :9). Kalau umat Israel terdiri dari golongan imam dan umat biasa, maka dalam “Israel Baru” semuanya adalah imam. Dalam teologi tradisional, gereja biasanya dipahami sebagai pengganti Israel sebagai umat Allah. Gereja adalah Israel baru, umat kesayangan Tuhan.

Alkitab sebenarnya tidak menyajikan hanya satu tema saja. Jarang disadari, bahwa Alkitab tidak selalu menonjolkan pemahaman mengenai “umat kesayangan Tuhan”. Hal ini terutama dalam ayat-ayat yang dekat dengan masa pembuangan dan yang ditulis pada masa pembuangan. Dalam Zefanya 3 : 12 dikisahkan bahwa umat Israel yang luput  dari hukuman Tuhan akan dibiarkan menjadi “suatu umat yang rendah hati dan lemah” (Terjemahan LAI). Maksudnya, Israel menjadi umat yang tidak dapat membanggakan diri lagi akan statusnya sebagai umat pilihan. Dalam Kitab Yesaya terdapat “Empat Syair Hamba Tuhan” (ebed Yehweh), yaitu Yesaya pasal 42 : 1-4, pasal 49 : 1-6, pasal 50 : 4-11, dan pasal 52:13-53:12. Dalam keempat syair ini direfleksikan bahwa Israel harus merenungkan penderitaannya pada masa lalu dalam kehinaan pembuangan yang memalukan mereka.   Israel pesimistis untuk melanjutkan masa depan mereka meskipun mereka nanti akan mengalami masa-masa setelah pembuangan. Biasanya hanya tokoh tertentu yang disebut hamba. Tetapi kini, seluruh umat Israel disebut sebagai hamba. Meskipun menderita malu yang amat sangat, tetapi Israel diyakini Yesaya (dan juga dimengerti oleh bangsa-bangsa lain) mengalami penderitaan dalam rangka penebusan bagi dunia. Israel menderita untuk dunia, dalam rangka melayani dunia.

Dalam Injil Matius pasal 5-7, Yesus menujukan khotbahnya di Bukit bukan hanya kepada para rasul tetapi kepada siapapun yang mendengar. Isinya mengenai hubungan antar manusia. Kemudian dalam pasal 7 : 13, Yesus meringkaskan  hukum Taurat dan Kitab Para Nabi sebagai berikut : “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”. Ratusan tahun sebelumnya Kong Hu Cu juga berkata demikian. Hanya saja dalam rumusan kalimat yang negatif. Meskipun rumusannya secara negatif, tetapi maknanya sama -sama positif. Nyatalah bahwa baik Yesus maupun Kong Hu Cu mengambil inspirasi dari kebenaran universal yang laku sepanjang jaman. Jadi, kekhasan umat tidak pernah dapat dilepaskan dari keuniversalan manusia. Kekhasan umat bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Orang terpanggil menyadari jati dirinya supaya dapat berkembang bersama dengan yang lain menuju keuniversalan manusia.      

7.         Makna Keselamatan Dalam Kehidupan Bersama Dengan Yang Lain[9]

Keselamatan dalam Alkitab tidak bisa diartikan hanya mutlak bersifat partikularistik. Alkitab menjelaskan bahwa keselamatan juga bersifat universalistik. Karena hal yang terakhir inilah, maka Injil juga diberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi. Bukan hanya umat Yahudi yang hendak diselamatkan oleh karya Yesus. Paulus pernah menolak paham bahwa untuk diselamatkan, seseorang harus diyahudikan dahulu dengan disunat. Seharusnya, orang Kristen sekarang mengikuti pandangan Paulus ini dan bukan menentangnya. Orang Kristen seharusnya tidak menganggap keselamatan sebagai hak eksklusif kelompok orang Kristen saja. Kalau  dahulu orang Yahudi berkata kepada dunia : engkau harus disunat dulu, baru engkau selamat, sekarang banyak orang Kristen berkata hal yang serupa  kepada dunia : engkau harus percaya dan dibabtis dulu, baru selamat. Praktik babtis dalam kenyataan telah mengganti praktik sunat. Padahal maksud Paulus bukan mengganti praktik sunat dengan praktik babtis, melainkan hendak menghapuskan praktik sunat. Itu berarti, babtisan tidak setara/sejajar dengan sunat. Babtisan harus berfungsi lain daripada sunat. Babtisan fungsinya sebagai tanda bahwa seseorang menjadi anggota jemaat Kristen.

Dalam Perjanjian Lama, keselamatan selalu dikaitkan dengan shalom, yang biasa diartikan “damai”. Damai di sini bukan berarti tiadanya perang atau tiadanya kekacauan, tapi merupakan keadaan yang simbang  yang dikaitkan dengan situasi masyarakat yang harmonis. Dan ini dikaitkan asalnya dari Allah. Dan dewasa ini, keselamatan di dalam Kristus tidak semata-mata diyakini bersifat spiritual belaka, tetapi bersifat holistik. Berita keselamatan harus diwartakan bersamaan dengan tindakan-tindakan sosial. Sosial Gospel, atau “injil sosial”, dengan demikian  merupakan bagian integral dari pemberitaan injil dan bukan sekedar alat penginjilan. Tindakan-tindakan sosial adalah perwujudan dari penghayatan iman dan bukan sekedar “buah iman” (yang hanya dikerjakan oleh Roh Kudus).  Kalau perbuatan baik dilihat sebagai perwujudan penghayatan iman, maka kita bisa menyambut baik segala perbuatan baik yang dilakukan orang lain. Meskipun perbuatan baik itu adalah usaha manusia.

 

Rangkuman


Dialog antar agama Kristen-Islam sudah menjadi keharusan karena konteks Indonesia yang plural dan warisan sejarah interaksi mereka yang seringkali diwarnai persaingan dan konflik. Dengan menginventarisir dasar teologis untuk upaya dialog, maka umat Kristen diharapkan siap tanpa ragu menyambut setiap perjumpaan dengan umat Islam dalam suasana bersahabat dan dialogis.





[1] James Barr, Alkitab Di Dunia Modern , Cetakan Kelima (Jakarta:  PT.BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 191.
[2] Wesley Ariarajah, Alkitab Dan Orang-Orang Yang Berkepercayaan Lain,  hlm. 42-46.
[3] E.G Singgih,  Hidup Kristiani Dalam Mayarakat Keagamaan Yang Majemuk, dalam Tim Balitbang PGI (Penyunting), Meretas Jalan Teologi Agama-Agama Di Indonesia : Theologia Religionum,  Cetakan ketiga  (Jakarta : PT.BPK Gunung Mulia, 2003),  hlm.104-106.
[4] Ibid.
[5] E.G.Singgih, Hidup Kristiani Dalam Mayarakat Keagamaan Yang Majemuk,  hlm. 111-115.
[6] Ibid.
[7] Wesley Ariarajah,  Alkitab Dan Orang-Orang Yang Berkepercayaan Lain, hlm. 46-50.
[8] E.G Singgih,  Hidup Kristiani Dalam Mayarakat Keagamaan Yang Majemuk, hlm. 107-110.
[9] E.G Singgih, Hidup Kristiani Dalam Mayarakat Keagamaan Yang Majemuk , hlm. 115-121.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar