Kamis, 08 Desember 2016

Bersaksi Dan Berdakwah Dalam Dialog

Sumber: Bambang Nugroho Hadi, Dialog Kristen-Islam Menuju Indonesia Damai, Yogyakarta: Smart Writing, 2013., hlm 83-93

BERSAKSI DAN BERDAKWAH DALAM DIALOG
Oleh : Dr. Bambang Nugroho Hadi, M.Th

Dialog tidak meniadakan kesaksian. Di mana orang tidak memiliki keyakinan apa pun untuk dibagikan, di situ tidak akan terjadi dialog yang sesungguhnya.[1] Di dalam setiap dialog sejati, kesaksian yang otentik harus terjadi, oleh karena masing-masing pihak akan memberikan kesaksian mengapa mereka mempunyai keyakinan ini atau itu. Hal ini tidaklah menghalangi sebuah dialog. Masing-masing pihak boleh saling bersaksi secara sopan dan penuh hormat satu sama lain. Inilah sebuah perjumpaan antara orang beragama yang sungguh-sungguh telah ditangkap oleh pesona Tuhannya dan yang berjumpa dengan orang berpengalaman serupa. 

Menurut Budyanto, hampir semua agama mengajarkan bagaimana harus hidup bersama dalam suatu masyarakat yang sangat beragam ini.[2] Masdar Mas’udi mengatakan bahwa keanekaragaman adalah takdir yang tidak dapat dihindarkan oleh manusia.[3] Sedangkan Nurcholis Madjid mengatakan bahwa keanekaragaman dalam kehidupan adalah tatanan dan hukum Tuhan atas komunitas manusia dan merupakan hak prerogatif Allah untuk menjelaskan mengapa dalam kehidupan ini orang berbeda satu dengan yang lain dalam berbagai jalan.[4]

Dalam masyarakat yang beragam agama, dengan demikian, segala kegiatan misioner harus dipahami sebagai tindakan yang dilaksanakan dengan tenang dan damai. Ia juga menuntut ko-eksistensi dengan kepercayaan yang lain dalam jiwa yang saling menghargai, baik kepercayaan itu primitif maupun yang telah lebih maju. Penginjilan membutuhkan kode etik “kebenaran” yang mesti ditaati, sehingga dapat meningkatkan sumber-sumber manusiawi mencapai “kemerdekaan dan kebahagiaan”, bukan hanya kini dan di sini, tetapi juga di sini dan nanti.[5]

Dialog yang sejati mengandaikan bahwa masing-masing berbicara dan mendengar, mendengar dan berbicara. Oleh sebab itu, prasarat terjadinya dialog yang harus dipenuhi adalah : pertama, bahwa masing-masing pihak bersaksi dengan tulus dan tidak dipaksa untuk merahasiakan apa yang diyakininya. Kedua, terwujudnya sikap saling menghormati, yang mengandaikan sikap sensitif terhadap keseganan maupun keyakinan masing-masing pihak, sikap simpati terhadap kesulitan-kesulitan serta kekaguman atas prestasi-prestasi yang dicapai. Harus menghindari sikap membandingkan kekuatan sendiri dengan kelemahan pihak lain. Dan prasarat ketiga, adanya pengakuan akan kebebasan beragama. Dengan demikian, dialog adalah suatu proses menghilangkan kekhawatiran dan mewujudkan suasana baru yang saling mempercayai.[6]

Menurut Wesley Ariarajah, banyak kesaksian Kristen dihidupi dari pemahamannya atas metode kesaksian iman dalam Kisah Para Rasul.[7] Selama berabad-abad misi gereja banyak diinspirasi         oleh perjalanan misi Rasul Paulus. Kegiatan misioner gereja  dipandang sebagai kelanjutan dari misi “pergi ke ujung bumi” yang sudah mulai dilakukan oleh para rasul. Metode penginjilan secara langsung yang dilakukan para rasul sering dilihat sebagai model tentang bagaimana harus berhubungan dengan orang-orang Hindu, Budha, Islam, Konghucu dan sebagainya. Padahal, konteks para rasul adalah konteks yang khusus dan yang tak mungkin terulang kembali dalam sejarah.

Kebanyakan tokoh-tokoh dalam Kitab Kisah Para Rasul adalah orang Yahudi atau orang yang paham akan tradisi Yahudi. Para rasul semuanya adalah orang Yahudi yang secara langsung atau tidak langsung memiliki hubungan dengan Yesus sendiri. Pada waktu itu perdebatan yang hangat di antara orang Yahudi adalah tentang siapakah Yesus itu.  Soal yang paling menonjol tentu saja adalah apakah Yesus dari Nasaret itu adalah Mesias yang selama ini dinantikan orang Yahudi atau bukan.

Kesuksesan Yesus menarik perhatian banyak orang dengan mukjizat dan tanda begitu berkesan. MasukNya ke Yerusalem disertai dengan arak-arakan besar penuh kemenangan, meskipun Ia sendiri adalah lambang kerendahan. Hal ini mengakibatkan pihak penguasa Yahudi dan pihak penguasa Romawi bersepakat bahwa gerakan pengikut Yesus dapat mengancam stabilitas politik mereka. Oleh karenanya Yesus disalibkan. Dengan kematian Yesus, maka gerakan itu seolah-olah hancur berantakan.

Dan tatkala Yesus bangkit dari kematian dan menemui para rasul, hal itu menimbulkan dampak luar biasa di hati para rasul. Mereka yakin bahwa Yesus yang ditolak dan disalibkan oleh pihak penguasa itu adalah Mesias yang dinubuatkan.

Dengan demikian, kotbah rasuli mula-mula harus dimengerti dalam konteks kontroversi mengenai siapakah Yesus itu. Kotbah Petrus yang pertama dalam Kisah Para Rasul  2 masuk dalam kategori ini.  Kotbah itu ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang paham terhadap peristiwa penyaliban Yesus dan desas-desus tentang kebangkitanNya. Mereka juga telah lama menanti-nanti kedatangan Mesias. Begitu pula dalam kotbah Petrus yang kedua, setelah ia menyembuhkan orang lumpuh di Bait Allah. Petrus mengulangi tema yang sama yaitu tema Yesus Kristus adalah Mesias.

Sampai akhir Kitab Kisah Para Rasul, seluruh kisah ditandai oleh kontroversi tentang kebangkitan Yesus, antara  mereka yang mempercayai bahwa Yesus adalah Mesias dan mereka yang menolak  mempercayainya. Dalam 2 pembelaan diri Paulus didepan Gubernur Feliks (Pasal 24) dan raja Agripa (Pasal 26), Paulus menggolongkan diri kepada orang Yahudi dan mengatakan bahwa kesulitan yang dihadapi para lawannya adalah bahwa ia beriman kepada kebangkitan Yesus dan mereka tidak.

Paulus memulai pemberitaannya hampir selalu di Sinagoge setempat. Di Sinagoge itulah  orang-orang Yahudi  beribadah. Di situ juga terdapat sejumlah orang-orang bukan Yahudi yang takut kepada Allah dan hadir secara teratur bersama dengan orang-orang Yahudi beribadah kepada Allah. Tiga hari Sabat berturut-turut, Paulus membicarakan bagian-bagian Kitab Suci dan menerangkan serta menunjukkan bahwa Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati. Dan Mesias yang dimaksud oleh Kitab Suci itu adalah Yesus.

Dengan pemberitaan ini, Paulus dinobatkan menjadi “Rasul bagi Orang-orang Kafir”, dan misinya dikenal sebagai “Misi untuk Orang-orang Kafir”. Tetapi, apabila dibaca dengan cermat, Kitab Kisah Para Rasul memperlihatkan bahwa Paulus sendiri merasa lebih enak berkotbah kepada mereka yang berasal dari, atau yang akrab dengan kepercayaan Yahudi. Banyak orang-orang bukan Yahudi yang percaya akan kotbah Paulus seperti di Ikonium dan Antiokhia setelah Paulus berbicara kepada mereka di Sinagoge pada hari Sabat (Kis 13,14).

Yang hendak diperlihatkan adalah, bahwa di dalam Kitab Kisah Para Rasul ada konteks Yahudi yang amat khusus, sehingga pemberitaan mengenai Yesus adalah Mesias merupakan sesuatu yang pokok. Banyak pendengar kotbah mereka adalah orang yang sudah akrab dengan pengharapan akan kedatangan Mesias dan memahami artinya bila diberitakan bahwa Yesus adalah Kristus. Cara pemberitaan dan akibat pemberitaan sudah dapat diramalkan oleh para Rasul. Tetapi adalah salah, bila ini dapat diterjemahkan begitu saja di semua kebudayaan dan jaman, dan bahwa metode penginjilan yang sama dengan metode penginjilan para Rasul dapat membantu kita untuk berhubungan dengan orang-orang Budha, Hindu, Muslim, dan sebagainya. Orang-orang pada jaman para Rasul berbeda dengan orang-orang Hindu, Budha dan Muslim pada saat ini.[8]

Rasul Paulus di banyak tempat menggunakan metode dialog. Di Efesus, misalnya, Paulus dikisahkan memimpin diskusi selama 3 bulan lamanya di Sinagoge. Yang menarik, dalam bahasa Yunani istilah “dialog” digunakan untuk menceritakan percakapan yang terjadi. Dan ketika dialog menjadi sulit, Paulus memindahkan tempat dialog di ruang kuliah Tiranus, dan melanjutkan diskusi selama 2 tahun penuh (Kisah Para Rasul 19:8-10). Begitu pula ketika Paulus di Athena. Ia terlibat percakapan dengan  orang-orang yang hilir-mudik di sebuah tempat umum, sehingga menarik kalangan Epikuros dan Stoa. (Kis 17:16-34). Karena orang Athena tidak mengenal budaya dan pengharapan dalam Yahudi, maka Paulus menggunakan metode dan ungkapan-ungkapan yang baru. Meskipun penginjilan ini kurang berhasil, tetapi bukan berarti “pemberitaan secara langsung” lebih manjur. Hal yang mendasar adalah, bahwa Paulus merasakan kesulitan untuk melakukan pemberitaan Injil kepada masyarakat yang berkepercayaan lain.[9]

Kesaksian adalah sesuatu yang sah dan harus dilakukan. Ia lahir dari sebuah spiritualitas yang dalam sebagai akibat seseorang berjumpa dengan Yesus Kristus. Hal ini mendorong seorang Kristen untuk membagikannya kepada mereka yang belum berjumpa dengan Kristus. Tetapi ia hanya dapat dibagikan di dalam kerendahan hati. Oleh karenanya, kesaksian tidaklah boleh merusakkan suatu hubungan keakraban di antara dua penganut agama yang berbeda, melainkan memenuhi hubungan keduanya dengan pengayaan nilai-nilai spiritualitas. Dalam dialog, masing-masing pihak dengan sopan dan penuh hormat menceritakan pengalaman-pengalaman iman mereka dalam Teologi Operatif[10] mereka sendiri dan menghubungkan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan yang ada untuk memperkokoh iman mereka masing-masing. Dialog bagaikan sumur yang daripadanya diambil air segar menyejukkan untuk mengisi bejana masing-masing.

Lesslie Newbigin, seorang misionaris yang melayani selama hampir 40 tahun di India percaya bahwa seorang Kristen sampai derajat tertentu harus menyambut baik pluralitas, tetapi harus menolak pluralisme.  Kita dapat dan harus menyambut baik suatu masyarakat yang majemuk karena dia memberi kita suatu jangkauan pengalaman dan keberagamaan yang lebih  luas dari tanggapan-tanggapan manusia terhadap pengalaman, dan karenanya merupakan kesempatan bagi kita untuk memperoleh kekayaan iman kita dari pada yang dapat diperoleh dalam suatu masyarakat yang satu corak saja. Sebagaimana kita mengaku Yesus di dalam suatu masyarakat yang majemuk, dan sebagaimana Gereja tumbuh melalui kedatangan orang-orang yang datang dari berbagai tradisi kebudayaan serta keagamaan yang berbeda-beda untuk beriman kepada Kristus, kita dimampukan untuk lebih mempelajari betapa panjang dan lebarnya dan tingginya dan dalamnya kasih Allah (Efesus 3 : 14-19) daripada yang kita dapatkan dari suatu masyarakat yang satu corak. Tetapi kita harus menolak ideologi pluralisme.[11]

Kita harus menolak undangan untuk hidup di dalam masyarakat yang segala sesuatu dipahami sebagai subyektif dan relatif, yaitu masyarakat yang sudah tidak mempercayai bahwa kebenaran dapat dikenali. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat yang tidak dapat mempertahankan integritasnya bila berhadapan dengan orang-orang yang memiliki komitmen tegas kepada suatu visi kebenaran.

Kita mengharap, mencari dan menyambut semua tanda anugerah Allah yang ada, termasuk tanda yang terdapat dalam kehidupan orang-orang yang tidak mengenal Yesus sebagai Tuhan, karena kita mengikuti contoh Yesus sendiri yang sangat bergairah untuk menyambut bukti-bukti iman dalam orang-orang yang berada di luar Israel. Dengan demikian, orang Kristen seharusnya bersemangat untuk bekerjasama dengan orang-orang dari agama apapun dalam semua proyek yang sejalan dengan pemahaman Kristen tentang tujuan Allah dalam sejarah, misalnya upaya-upaya penegakan HAM, keadilan, pendampingan korban bencana, keutuhan ciptaan dan pembebasan dari  belenggu kemiskinan dan kebodohan.  

Di dalam dialog dengan orang-orang yang berkepercayaan lain, kita dapat menemukan beberapa perspektif dan pandangan yang menolong kita untuk mengembangkan penafsiran kita sendiri tentang Kristus dan tentang Allah. Mungkin saja mereka melihat di dalam Yesus sesuatu yang tidak kita lihat.Atau dari perspektif iman mereka, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memberikan sesuatu yang baru tentang peranan Kristus di dalam iman kita.

Dengan demikian, kesaksian dan dialog  bukanlah dua hal yang bertentangan. Ketika seorang Kristen masuk dalam dialog dengan komitmen pada Yesus Kristus, dialog menjadi tempat kesaksian yang otentik. Kita harus datang dengan penuh kesungguhan bahwa kita bukan manipulator-manipulator melainkan sesama peziarah yang tulus, yang berbicara kepada mereka mengenai apa yang telah Allah lakukan di dalam Yesus Kristus bagi keselamatan kita.  




[1] Wesley Ariarajah, Alkitab Dan Orang-Orang Yang Berkepercayaan Lain  (Jakarta: BPK, 2000) hlm. 56.
[2] Budyanto, Dasar Teologis Kebersamaan Dalam Masyarakat Yang Beraneka Ragam, dalam Kebersamaan Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara (Yogyakarta : Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana Edisi 56, 2000), hlm. 68.
[3] Masdar Mas’udi, Memahami Agama dan Keanekaragamannya  (Bogor : Stensilan yang diterbitkan PGI, 1992), hlm. 49.
[4] Nurcholis Madjid, Indonesia, Sebuah Contoh Pluralisme dan Toleransi Agama, dalam :  Umat Beragama dan Kesatuan Bangsa (Jakarta : Panitya Bersama Darma Canti Hari Raya Nyepi, 1994), hlm. 54.
[5] World Council Of Churches, Iman Sesamaku Dan Imanku, hlm. 51. Pentingnya kaidah-kaidah dalam dialog  juga dinyatakan oleh D.C Mulder. Lih. D.C. Mulder, Hubungan Dialog dan Misi, dalam Konteks Berteologi Di Indonesia, Peny. Eka Darmaputera (Jakarta:   PT BPK Gunung Mulia,  2004),  hal 163-165.
[6] Djaka Soetapa,  Dialog Kristen-Islam, Suatu Uraian Teologis, Cetakan ketiga (Yogyakarta: PPIP Duta Wacana, 1988), hlm. 6.
[7] Wesley Ariarajah, Alkitab Dan Orang-Orang Yang Berkepercayaan Lain,  hlm.56..
[8] Wesley Ariarajah, Alkitab Dan Orang-Orang Yang Berkepercayaan Lain,, hlm. 56-63.
[9] Ibid.
[10] Teologi Operatif adalah teologi yang operatif di dalam diri seseorang dan menjadi filter baginya untuk memahami Allah. Teologi Operatif menjadi dasar bagi seseorang untuk berteologi dan dibentuk dari pengalaman hidup pribadi (terkait dengan orang terpenting dalam hidupnya/significant other), pengalaman profesional (terkait dengan keberhasilan atau kegagalan/traumatis) dan pengalaman religius/mistis (pengalaman rohani yang berdampak kuat terhadap kehidupan religius) nya. Tentang Teologi Operatif, selengkapnya dapat dilihat dalam : Bambang Nugroho Hadi, Teologi Operatif : Upaya Berteologi Secara Autentik,  Skripsi Sarjana  (Yogyakarta, Universitas Kristen Duta Wacana, 1998).
[11] Lesslie Newbigin, Injil Dalam Masyarakat Majemuk,  Cetakan ketiga (Jakarta : PT.BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 343.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar