Sumber: Bambang Nugroho Hadi, Dialog Kristen-Islam Menuju Indonesia Damai,
Yogyakarta: Smart Writing, 2013., hlm 83-93
BERSAKSI DAN BERDAKWAH DALAM DIALOG
Oleh : Dr. Bambang Nugroho Hadi,
M.Th
Dialog tidak meniadakan kesaksian. Di mana orang tidak memiliki
keyakinan apa pun untuk dibagikan, di situ tidak akan terjadi dialog yang
sesungguhnya.[1] Di
dalam setiap dialog sejati, kesaksian yang otentik harus terjadi, oleh karena
masing-masing pihak akan memberikan kesaksian mengapa mereka mempunyai
keyakinan ini atau itu. Hal ini tidaklah menghalangi sebuah dialog.
Masing-masing pihak boleh saling bersaksi secara sopan dan penuh hormat satu
sama lain. Inilah sebuah perjumpaan antara orang beragama yang sungguh-sungguh
telah ditangkap oleh pesona Tuhannya dan yang berjumpa dengan orang
berpengalaman serupa.
Menurut Budyanto, hampir semua agama mengajarkan bagaimana
harus hidup bersama dalam suatu masyarakat yang sangat beragam ini.[2] Masdar
Mas’udi mengatakan bahwa keanekaragaman adalah takdir yang tidak dapat
dihindarkan oleh manusia.[3]
Sedangkan Nurcholis Madjid mengatakan bahwa keanekaragaman dalam kehidupan
adalah tatanan dan hukum Tuhan atas komunitas manusia dan merupakan hak
prerogatif Allah untuk menjelaskan mengapa dalam kehidupan ini orang berbeda
satu dengan yang lain dalam berbagai jalan.[4]
Dalam masyarakat yang beragam agama, dengan demikian, segala
kegiatan misioner harus dipahami sebagai tindakan yang dilaksanakan dengan
tenang dan damai. Ia juga menuntut ko-eksistensi dengan kepercayaan yang lain
dalam jiwa yang saling menghargai, baik kepercayaan itu primitif maupun yang
telah lebih maju. Penginjilan membutuhkan kode etik “kebenaran” yang mesti
ditaati, sehingga dapat meningkatkan sumber-sumber manusiawi mencapai
“kemerdekaan dan kebahagiaan”, bukan hanya kini dan di sini,
tetapi juga di sini dan nanti.[5]
Dialog yang sejati mengandaikan bahwa masing-masing
berbicara dan mendengar, mendengar dan berbicara. Oleh sebab itu, prasarat
terjadinya dialog yang harus dipenuhi adalah : pertama, bahwa masing-masing
pihak bersaksi dengan tulus dan tidak dipaksa untuk merahasiakan apa yang
diyakininya. Kedua, terwujudnya sikap saling menghormati, yang mengandaikan
sikap sensitif terhadap keseganan maupun keyakinan masing-masing pihak, sikap
simpati terhadap kesulitan-kesulitan serta kekaguman atas prestasi-prestasi
yang dicapai. Harus menghindari sikap membandingkan kekuatan sendiri dengan
kelemahan pihak lain. Dan prasarat ketiga, adanya pengakuan akan kebebasan
beragama. Dengan demikian, dialog adalah suatu proses menghilangkan
kekhawatiran dan mewujudkan suasana baru yang saling mempercayai.[6]
Menurut Wesley Ariarajah, banyak kesaksian Kristen dihidupi
dari pemahamannya atas metode kesaksian iman dalam Kisah Para Rasul.[7] Selama
berabad-abad misi gereja banyak diinspirasi oleh
perjalanan misi Rasul Paulus. Kegiatan misioner gereja dipandang sebagai kelanjutan dari misi “pergi
ke ujung bumi” yang sudah mulai dilakukan oleh para rasul. Metode penginjilan
secara langsung yang dilakukan para rasul sering dilihat sebagai model tentang
bagaimana harus berhubungan dengan orang-orang Hindu, Budha, Islam, Konghucu dan
sebagainya. Padahal, konteks para rasul adalah konteks yang khusus dan yang tak
mungkin terulang kembali dalam sejarah.
Kebanyakan tokoh-tokoh dalam Kitab Kisah Para Rasul adalah
orang Yahudi atau orang yang paham akan tradisi Yahudi. Para rasul semuanya
adalah orang Yahudi yang secara langsung atau tidak langsung memiliki hubungan
dengan Yesus sendiri. Pada waktu itu perdebatan yang hangat di antara orang
Yahudi adalah tentang siapakah Yesus itu.
Soal yang paling menonjol tentu saja adalah apakah Yesus dari Nasaret
itu adalah Mesias yang selama ini dinantikan orang Yahudi atau bukan.
Kesuksesan Yesus menarik perhatian banyak orang dengan
mukjizat dan tanda begitu berkesan. MasukNya ke Yerusalem disertai dengan
arak-arakan besar penuh kemenangan, meskipun Ia sendiri adalah lambang
kerendahan. Hal ini mengakibatkan pihak penguasa Yahudi dan pihak penguasa
Romawi bersepakat bahwa gerakan pengikut Yesus dapat mengancam stabilitas
politik mereka. Oleh karenanya Yesus disalibkan. Dengan kematian Yesus, maka
gerakan itu seolah-olah hancur berantakan.
Dan tatkala Yesus bangkit dari kematian dan menemui para
rasul, hal itu menimbulkan dampak luar biasa di hati para rasul. Mereka yakin
bahwa Yesus yang ditolak dan disalibkan oleh pihak penguasa itu adalah Mesias
yang dinubuatkan.
Dengan demikian, kotbah rasuli mula-mula harus dimengerti
dalam konteks kontroversi mengenai siapakah Yesus itu. Kotbah Petrus yang
pertama dalam Kisah Para Rasul 2 masuk
dalam kategori ini. Kotbah itu ditujukan
kepada orang-orang Yahudi yang paham terhadap peristiwa penyaliban Yesus dan
desas-desus tentang kebangkitanNya. Mereka juga telah lama menanti-nanti
kedatangan Mesias. Begitu pula dalam kotbah Petrus yang kedua, setelah ia
menyembuhkan orang lumpuh di Bait Allah. Petrus mengulangi tema yang sama yaitu
tema Yesus Kristus adalah Mesias.
Sampai akhir Kitab Kisah Para Rasul, seluruh kisah ditandai
oleh kontroversi tentang kebangkitan Yesus, antara mereka yang mempercayai bahwa Yesus adalah
Mesias dan mereka yang menolak mempercayainya.
Dalam 2 pembelaan diri Paulus didepan Gubernur Feliks (Pasal 24) dan raja
Agripa (Pasal 26), Paulus menggolongkan diri kepada orang Yahudi dan mengatakan
bahwa kesulitan yang dihadapi para lawannya adalah bahwa ia beriman kepada
kebangkitan Yesus dan mereka tidak.
Paulus memulai pemberitaannya hampir selalu di Sinagoge
setempat. Di Sinagoge itulah orang-orang
Yahudi beribadah. Di situ juga terdapat
sejumlah orang-orang bukan Yahudi yang takut kepada Allah dan hadir secara
teratur bersama dengan orang-orang Yahudi beribadah kepada Allah. Tiga hari
Sabat berturut-turut, Paulus membicarakan bagian-bagian Kitab Suci dan
menerangkan serta menunjukkan bahwa Mesias harus menderita dan bangkit dari
antara orang mati. Dan Mesias yang dimaksud oleh Kitab Suci itu adalah Yesus.
Dengan pemberitaan ini, Paulus dinobatkan menjadi “Rasul
bagi Orang-orang Kafir”, dan misinya dikenal sebagai “Misi untuk Orang-orang
Kafir”. Tetapi, apabila dibaca dengan cermat, Kitab Kisah Para Rasul
memperlihatkan bahwa Paulus sendiri merasa lebih enak berkotbah kepada mereka
yang berasal dari, atau yang akrab dengan kepercayaan Yahudi. Banyak
orang-orang bukan Yahudi yang percaya akan kotbah Paulus seperti di Ikonium dan
Antiokhia setelah Paulus berbicara kepada mereka di Sinagoge pada hari Sabat
(Kis 13,14).
Yang hendak diperlihatkan adalah, bahwa di dalam Kitab Kisah
Para Rasul ada konteks Yahudi yang amat khusus, sehingga pemberitaan mengenai
Yesus adalah Mesias merupakan sesuatu yang pokok. Banyak pendengar kotbah
mereka adalah orang yang sudah akrab dengan pengharapan akan kedatangan Mesias
dan memahami artinya bila diberitakan bahwa Yesus adalah Kristus. Cara
pemberitaan dan akibat pemberitaan sudah dapat diramalkan oleh para Rasul.
Tetapi adalah salah, bila ini dapat diterjemahkan begitu saja di semua
kebudayaan dan jaman, dan bahwa metode penginjilan yang sama dengan metode
penginjilan para Rasul dapat membantu kita untuk berhubungan dengan orang-orang
Budha, Hindu, Muslim, dan sebagainya. Orang-orang pada jaman para Rasul berbeda
dengan orang-orang Hindu, Budha dan Muslim pada saat ini.[8]
Rasul Paulus di banyak tempat menggunakan metode dialog. Di
Efesus, misalnya, Paulus dikisahkan memimpin diskusi selama 3 bulan lamanya di Sinagoge.
Yang menarik, dalam bahasa Yunani istilah “dialog” digunakan untuk menceritakan
percakapan yang terjadi. Dan ketika dialog menjadi sulit, Paulus memindahkan
tempat dialog di ruang kuliah Tiranus, dan melanjutkan diskusi selama 2 tahun
penuh (Kisah Para Rasul 19:8-10). Begitu pula ketika Paulus di Athena. Ia
terlibat percakapan dengan orang-orang yang
hilir-mudik di sebuah tempat umum, sehingga menarik kalangan Epikuros dan Stoa.
(Kis 17:16-34). Karena orang Athena tidak mengenal budaya dan pengharapan dalam
Yahudi, maka Paulus menggunakan metode dan ungkapan-ungkapan yang baru.
Meskipun penginjilan ini kurang berhasil, tetapi bukan berarti “pemberitaan
secara langsung” lebih manjur. Hal yang mendasar adalah, bahwa Paulus merasakan
kesulitan untuk melakukan pemberitaan Injil kepada masyarakat yang
berkepercayaan lain.[9]
Kesaksian adalah sesuatu yang sah dan harus dilakukan. Ia
lahir dari sebuah spiritualitas yang dalam sebagai akibat seseorang berjumpa
dengan Yesus Kristus. Hal ini mendorong seorang Kristen untuk membagikannya
kepada mereka yang belum berjumpa dengan Kristus. Tetapi ia hanya dapat
dibagikan di dalam kerendahan hati. Oleh karenanya, kesaksian tidaklah boleh
merusakkan suatu hubungan keakraban di antara dua penganut agama yang berbeda,
melainkan memenuhi hubungan keduanya dengan pengayaan nilai-nilai
spiritualitas. Dalam dialog, masing-masing pihak dengan sopan dan penuh hormat
menceritakan pengalaman-pengalaman iman mereka dalam Teologi Operatif[10] mereka
sendiri dan menghubungkan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan yang ada
untuk memperkokoh iman mereka masing-masing. Dialog bagaikan sumur yang
daripadanya diambil air segar menyejukkan untuk mengisi bejana masing-masing.
Lesslie Newbigin, seorang misionaris yang melayani selama
hampir 40 tahun di India percaya bahwa seorang Kristen sampai derajat tertentu
harus menyambut baik pluralitas, tetapi harus menolak pluralisme. Kita dapat dan harus menyambut baik suatu
masyarakat yang majemuk karena dia memberi kita suatu jangkauan pengalaman dan
keberagamaan yang lebih luas dari
tanggapan-tanggapan manusia terhadap pengalaman, dan karenanya merupakan
kesempatan bagi kita untuk memperoleh kekayaan iman kita dari pada yang dapat
diperoleh dalam suatu masyarakat yang satu corak saja. Sebagaimana kita mengaku
Yesus di dalam suatu masyarakat yang majemuk, dan sebagaimana Gereja tumbuh
melalui kedatangan orang-orang yang datang dari berbagai tradisi kebudayaan
serta keagamaan yang berbeda-beda untuk beriman kepada Kristus, kita dimampukan
untuk lebih mempelajari betapa panjang dan lebarnya dan tingginya dan dalamnya
kasih Allah (Efesus 3 : 14-19) daripada yang kita dapatkan dari suatu
masyarakat yang satu corak. Tetapi kita harus menolak ideologi pluralisme.[11]
Kita harus menolak undangan untuk hidup di dalam masyarakat
yang segala sesuatu dipahami sebagai subyektif dan relatif, yaitu masyarakat
yang sudah tidak mempercayai bahwa kebenaran dapat dikenali. Masyarakat yang
demikian adalah masyarakat yang tidak dapat mempertahankan integritasnya bila
berhadapan dengan orang-orang yang memiliki komitmen tegas kepada suatu visi
kebenaran.
Kita mengharap, mencari dan menyambut semua tanda anugerah
Allah yang ada, termasuk tanda yang terdapat dalam kehidupan orang-orang yang
tidak mengenal Yesus sebagai Tuhan, karena kita mengikuti contoh Yesus sendiri
yang sangat bergairah untuk menyambut bukti-bukti iman dalam orang-orang yang
berada di luar Israel. Dengan demikian, orang Kristen seharusnya bersemangat
untuk bekerjasama dengan orang-orang dari agama apapun dalam semua proyek yang
sejalan dengan pemahaman Kristen tentang tujuan Allah dalam sejarah, misalnya
upaya-upaya penegakan HAM, keadilan, pendampingan korban bencana, keutuhan
ciptaan dan pembebasan dari belenggu
kemiskinan dan kebodohan.
Di dalam dialog dengan orang-orang yang berkepercayaan lain,
kita dapat menemukan beberapa perspektif dan pandangan yang menolong kita untuk
mengembangkan penafsiran kita sendiri tentang Kristus dan tentang Allah.
Mungkin saja mereka melihat di dalam Yesus sesuatu yang tidak kita lihat.Atau
dari perspektif iman mereka, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
memberikan sesuatu yang baru tentang peranan Kristus di dalam iman kita.
Dengan demikian, kesaksian dan dialog bukanlah dua hal yang bertentangan. Ketika
seorang Kristen masuk dalam dialog dengan komitmen pada Yesus Kristus, dialog
menjadi tempat kesaksian yang otentik. Kita harus datang dengan penuh
kesungguhan bahwa kita bukan manipulator-manipulator melainkan sesama peziarah
yang tulus, yang berbicara kepada mereka mengenai apa yang telah Allah lakukan
di dalam Yesus Kristus bagi keselamatan kita.
[1] Wesley Ariarajah, Alkitab Dan Orang-Orang Yang Berkepercayaan
Lain (Jakarta: BPK, 2000) hlm. 56.
[2] Budyanto, Dasar Teologis Kebersamaan Dalam Masyarakat Yang
Beraneka Ragam, dalam Kebersamaan Dalam Kehidupan Berbangsa Dan
Bernegara (Yogyakarta : Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana Edisi 56, 2000), hlm. 68.
[3] Masdar Mas’udi, Memahami Agama dan Keanekaragamannya (Bogor : Stensilan yang diterbitkan PGI, 1992), hlm. 49.
[4] Nurcholis Madjid, Indonesia, Sebuah Contoh Pluralisme dan
Toleransi Agama, dalam : Umat
Beragama dan Kesatuan Bangsa (Jakarta : Panitya Bersama Darma Canti Hari Raya Nyepi,
1994), hlm. 54.
[5] World Council Of Churches, Iman Sesamaku Dan Imanku, hlm.
51. Pentingnya kaidah-kaidah dalam dialog
juga dinyatakan oleh D.C Mulder. Lih. D.C. Mulder, Hubungan Dialog dan Misi, dalam Konteks
Berteologi Di Indonesia, Peny.
Eka Darmaputera (Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia, 2004), hal 163-165.
[6] Djaka Soetapa, Dialog
Kristen-Islam, Suatu Uraian Teologis, Cetakan
ketiga (Yogyakarta: PPIP Duta Wacana, 1988), hlm. 6.
[8] Wesley Ariarajah, Alkitab Dan Orang-Orang Yang Berkepercayaan
Lain,, hlm. 56-63.
[9] Ibid.
[10] Teologi Operatif adalah teologi yang operatif di dalam diri seseorang
dan menjadi filter baginya untuk memahami Allah. Teologi Operatif menjadi dasar
bagi seseorang untuk berteologi dan dibentuk dari pengalaman hidup pribadi
(terkait dengan orang terpenting dalam hidupnya/significant other), pengalaman
profesional (terkait dengan keberhasilan atau kegagalan/traumatis) dan
pengalaman religius/mistis (pengalaman rohani yang berdampak kuat terhadap
kehidupan religius) nya. Tentang Teologi Operatif, selengkapnya dapat dilihat
dalam : Bambang Nugroho Hadi, Teologi Operatif : Upaya Berteologi Secara
Autentik, Skripsi Sarjana (Yogyakarta, Universitas Kristen Duta Wacana,
1998).
[11] Lesslie Newbigin, Injil Dalam Masyarakat Majemuk, Cetakan
ketiga (Jakarta : PT.BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 343.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar